Pages

Friday 10 August 2012

Masa Awal Sekolah di De Britto


Saya hanya bisa bengong waktu ditanya orang tua saya terutama ayah saya  seperti ini “Iki biji opo kok koyo ngene? (Ini nilai apa kok seperti ini?)”, sambil menunjukkan selembar kertas HVS yang berisikan laporan nilai mid semester pertama atau 3 bulan pertama waktu saya sekolah di De Britto. Saya mencoba melihat isi tulisan dikertas itu tanpa mengambil kertas itu dari tangan ayah saya. Dalam kertas itu saya lihat nilai yang tertulis mungkin bisa untuk dipakai nyanyi karena memang nilainya do-re-mi alias nilainya jeblok semua dan mungkin kalau ditulis dengan tinta merah itu sebagian besar merah semua angka yang tertulis cuma sebagian kecil yang bisa ditulis pakai tinta hitam. Nilai saya di bidang studi yang masuk dalam kategori mata pelajaran  IPA  seperti  fisika, kimia, dan biologi serta matematika. Hanya biologi yang diatas 5 itupun nilainya 6, sedangkan fisika  4, kimia 2, dan matematika 2. Loh itu ditulis dilaporan siswa untuk orang tua siswa? Iya seperti itulah nilai yang tertulis dilaporan nilai siswa bahkan buku raport kami di SMA Kolese De Britto.
Kenapa di raport siswa ditulis nilai 3,4,2 bahkan 1 atau 0? Sudah sangat biasa ditempat kami. Tidak naik kelas puluhan orang dan kalau dikumpulkan sudah cukup untuk mengisi 1 atau 2 kelas itu juga sudah biasa disekolah kami ini. Di sekolah kami ini para guru bukannya pelit nilai atau tidak mau membantu siswa, tapi disinilah mental kami dibentuk. Tidak ada yang namanya nilai upah nulis dalam ulangan baik ulangan harian maupun ulangan semester serta dalam tugas-tugas kami. Jawaban salah ya tidak dapat nilai, jawaban betul baru dapat nilai. Tidak ada istilah nilai belas kasihan atau nilai upah nulis, malah waktu itu teman saya nilai tugasnya -7(dikurangi 7) dari nilainya yang 5 karena telat mengumpulkan tugas selama 7 minggu dan yah nilainya jadi -2.
Sekolah kami memang terkenal siswanya gondrong, urakkan, sekolah yang sangat bebas, namun dibalik kebebasan itu ada sebuah pertanggung jawaban yang harus kami emban untuk suatu bentuk kebebasan yang kami dapatkan. Kebebasan yang kami dapatkan dari sekoah kami in bukanlah bebas liar tanpa kendali. Namun kebebasan yang kami dapatkan mengajarkan kami bahwa kebebasan itu adalah sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan dan bukan suatu hal yang bisa membuat kami berbuat seenaknya tanpa batasan. Bukan yang bisa melakukan semuanya seenaknya sendiri, kalau itu namanya liar bukan kebebasan.
Memang kami diperbolehkan gondrong, pakaian bebas, sekolah boleh dengan sepatu sandal, namun itu semua bukan tanpa batasan atau bukan tanpa tanggung jawab. Tidak jarang kami mendengar komentar dari guru kami seperti “Percuma le kowe gondrong nanging bodo! (Percuma nak kamu gondrong tapi bodoh!)”, atau “Nek isih bodo ki ra sah gondrong sek (kalau masih bodoh itu jangan gondrong dulu)”. Itulah salah satu contoh yang mengajarkan pada kami bahwa kami bisa gondrong tapi jangan asal gondrong biar kelihatan sangar saja atau biar seperti preman, namun kami diajarkan disini meskipun penampilan kita gondrong sangar seperti preman namun pola pikir kita bukanlah seperti preman namun kita bisa menunjukkan bahwa kita ini orang berpendidikan meskipun bertampang preman. Seperti orang jawa bilang “Gondrong sing sembodo” yang bisa diartikan gondrong tapi tidak asal gondrong atau Gondrong tapi “berisi”/otaknya maksudnya.
Jujur saya sendiri pada awal sekolah di De Britto mengalami kesulitan mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan metode yang digunakan. Metode di sekolah kami ini berbeda dengan yang dipakai dengan sekolah-sekolah lain. Beda? Apanya yang beda? Orang sama gitu kok, ada guru didepan menjelaskan kepada siswa yang duduk rapi dideretan kursi lengkap dengan meja, tiap jam pelajaran 45 menit. Ya memang yang terlihat seperti itu, namun sebenarnya sangatlah berbeda. Bukan cuma boleh bebas seperti gondrong, pakaian sekolah bebas, boleh pakai sepatu sandal. Namun kami diajarkan bebas untuk berpendapat, bebas untuk menuangkan ide. Oleh karena itu sering dalam setiap jam pelajaran terjadi diskusi dan dialog antara guru dengan siswa tentang pelajaran terkait. Jadi dalam proses belajar mengajar setiap hari suasana belajar mengajar terasa begitu menarik dan dengan diskusi yang sering terjadi membantu siswa mampu untuk kritis dan bisa menganalisa suatu hal dan bisa memandang segala sesuatu dari berbagai sudut pandang.
Satu hal yang menurut saya sangat berharga dari De Britto adalah proses refleksi diri. Refleksi diri atau biasa orang bilang berefleksi ini pertama kali saya alami ketika saya diminta menuliskannya oleh seorang frater yang bertugas mengajar pelajaran religiusitas di De Britto karena saya tidak mengerjakan tugas yang diberikan. Dari kejadian itu saya baru mengerti apa itu sebenarnya “Refleksi diri”. Saya menganggap itu sebagai hukuman pada awalnya, namun setelah saya melakukanya dan dwaktu saya melakukannya saya menemukan hal lain dari sebuah “hukuman” menjadi  bisa dikatakan sebuah “hadiah”. Hadiah? Iya sebuah hadiah yang mengajarkan saya menjadi mengerti dan memahami apa itu sebenarnya “refleksi diri” atau “berefleksi”. Saya menjadi tahu bahwa berefleksi itu tidak hanya mengingat kesalahan atau kejadian yang telah kita lakukan atau telah terjadi, namun dengan kita mengingat kesalhan atau kejadian yang telah lalu kita bisa mengambil pelajaran dari masa lalu kita.

0 comments: