Pages

Sunday 26 August 2012

Tidak Takut, Tidak Malu, Tidak Malas?


"Tidak takut, tidak malu, tidak malas!", itulah slogan yang sewaktu inisiasi sering didengungkan dan kami teriakkan. Saya beberapa hari yang lalu mengunjungi grup alumni SMA saya, SMA Kolese De Britto dan disana banyak berita tentang acara Tumbuk Ageng, sebuah acara yang diadakan dalam rangka peringatan 64 tahun sekolah kami. Salah satu alumni ada yang membuat thread tentang slogan diatas, awalnya tentang "Tidak Malu". Apa maksud "Tidak Malu" dari slogan itu? Apakah tidak malu yang dimaksud "Waton ra duwe isin" (asal tidak punya malu) / "Rai Gedheg" (Rai= muka, Gedheg= anyaman bambu) yang pada ujungnya malah bisa membuat malu?  Pada awalnya saya mencoba menebak apa yang melatar belakangi beliau menulis thread tersebut. Saya mencoba membaca dialog seru melalui komentar-komentar pada thread tersebut, banyak berbagai tanggapan dengan gaya khas cah JB (siswa de Britto) yang bergaya "sersan" (serius tapi santai), diselingi dengan clekopan (celetukkan) guyon namun tetap pada jalur dan tema yang dibahas. Clekopan guyon yang muncul malah menambah suasana yang ada bukan menjadi OOT/Out Of Topic (begitu mungkin gaya bahasa anak gaul sekarang biar kelihatan gaul saya coba ikutan, :P), namun malah menjadikan suasana diskusi jadi lebih rileks dan santai tidak tegang dan panas seperti mungkin yang sering terjadi pada dialog-dialog yang lain yang bisa berujung adu otot. Kembali pada rasa penasaran saya tentang latar belakang thread tersebut saya mencoba membaca thread yang lain di dalam grup, saya menemukan sesuatu yang mengejutkan yang dalam sebuah thread yang ditulis oleh alumni yang lain mengenai perayaan misa pada acara Tumbuk Ageng yang dipimpin oleh romo Kardinal sedikit saya kutip salah satu kalimat dalam thread beliau sebagai berikut: 

"...mosok para rama durung nganti mlebu ruang sakristi tapi para siswane wis membubarkan diri meninggalkan area misa..." 


Mungkin ini bukan yang melatar belakangi alumni pertama yang membuat thread soal "tidak malu" namun menurut saya kedua thread ini berhubungan. Kenapa? Karena dalam sopan santun atau dalam tradisi misa yang pernah saya ikuti kita sebaiknya menunggu pastur/romo pemimpin misa memasuki ruang sakristi baru setelah itu kita bisa meninggalkan area tempat misa. Mungkin hal seperti ini tidak pernah dipermasalahkan cuma mungkin secara sopan santun dari pribadi kita sebagai penghargaan kepada pemimpin ekaristi atau pastur/romo yang telah bersedia memimpin ekaristi untuk kita. Apalagi kita sebagai keluarga dari SMA kolese De Britto yang sering meneriakkan slogan "Tidak takut, tidak malu, tidak malas!", bukan berarti "Rai Gedheg" seperti yang diungkapkan oleh salah seorang alumni diatas. Apalagi hal itu dilakukan oleh para siswa De Britto yang masih sekolah disana dan baru saja menjalani inisiasi. Jadi apakah inisiasi mereka tidak diperkenalkan dan diberi tahu tentang slogan "Tidak takut, tidak malu, tidak malas!" sampai kejadian ini terjadi? Saya rasa para siswa dalam inisisasi tentu saja diajarkn tentang slogan itu seperti pada inisiasi yang saya ikuti dulu dan inisiasi pada tahun-tahun yang lain. Lalu kenapa bisa itu terjadi? Yah kembali pada thread awal tentang sampai mana pemahaman kita semua yang mengenal slogan itu tentang batas "tidak malu". Kalau dalam kejadian misa tersebut saya beranggapan yang terjadi adalah "Rai Gedheg" yang sebenarnya lebih ke rasa untuk menghargai orang lain terutama orang yang lebih tua. Belakangan saya banyak melihat tentang anak muda yang kurang bisa bersopan santun terhadap orang yang lebih tua. Mungkin hal ini juga yang mulai "menjangkiti" beberapa siswa De Britto. Untuk saya pribadi "Tidak Malu" sendiri tidak bisa kita batasi atau generalisasi harus dibatasi sampai mana batasan tidak malunya, antara seorang dengan orang lain tentu saja bisa berbeda batasannya. Hal itu bisa karena pengaruh lingkungan, pekerjaan, serta orang-orang disekitarnya. Saya kembali teringat sewaktu inisiasi tentang slogan "Tidak takut, tidak malu, tidak malas!" diatas, bahwa pada intinya semua harus mengarah pada hal positif disertai dengan tindakan nyata. Semua batasan kembali pada kita masing-masing bagaimana kita tetap menjaga dan melaksanakan slogan itu tentunya pada arah yang positif. Sebenarnya tidak hanya pada "tidak malu namun juga pada "Tidak Takut" dan "Tidak malas".  Pertanyaan untuk saya sendiri "Apakah saya telah bisa melaksanakan slogan "Tidak takut, tidak malu, tidak malas!" diatas?". Menurut saya pribadi saya belum bisa secara 100% melaksanakannya, saya masih belajar untuk menerapkannya dalam hidup saya. Berarti belum melakukan slogan itu sama sekali dong? Ya bukan sama sekali saya tidak melakukannya namun saya belajar dengan melakukannya istilah kerennya "Learning by Doing", yah mungkin saya baru sebagian kecil menerapkannya dalam hidup saya, namun bukankah dari hal yang kecil akan muncul hal yang besar. :)


Sumber gambar : http://debritto.sch.id/images/photo/13.jpg

0 comments: