Pages

Friday 5 October 2012

Knocking Heart : Love for Ibu Paijem and Aris, his son


Hari ini saya membuka FB berencana menganmbil beberapa foto dari salah seorang teman SMA saya yang pada tengah malam dia kirimkan terkait dengan pesanan orang, namun ketika membuka FB saya melihat ada 2 notifikasi di message. Ketika saya buka memang ada 2 teman saya yang mengirimkan pesan disana. Yang pertama dari seorang teman SMA yang berisi foto yang saya ceritakan diawal tadi dan yang satu lagi dari teman saya lainnya yang berisi sebuah ringkasan sebuah note salah seorang teman FB-nya disertai link ke note tersebut. Dalam ringkasan tersebut dia bercerita tentang seorang ibu Paijem dan Aris anaknya berusia 12 tahun yang menderita Hidrocephalus. Dari ringkasan cerita teman saya tersebut saya jadi penasaran dan mencoba membuka link tersebut, namun tidak bisa. Saya coba lagi dan lagi tetap tidak bisa.
Saya lalu mencoba membalas pesan teman saya tersebut dan menanyakan kenapa tidak bisa dibuka. Eh lah kok ternyata dia pas online juga, kemudian dia memberikan link FB yang men-share-kan note tersebut. Kemudian saya coba add dan tidak lama kemudian dikonfirmasi oleh empunya FB tersebut.

Ketika berhasil menemukan note tersebut dan membacanya tanpa saya sadari ada sedikit air mata ngembeng (menggenang) di kelopak mata saya. Sungguh cerita yang mengetuk hati. Sebuah note yang mengajak kita ikut bersama berjuang bersama ibu Paijem sang ibu dari Aris yang tanpa kenal menyerah berjuang demi kesembuhan anaknya. Setelah membaca kemudian muncul keinginan saya untuk menampilkan tulisan tersebut di blog pribadi saya ini. Yah meskipun blog ini masih baru juga siapa tahu teman-teman yang membaca di blog saya ini ikut terketuk hatinya untuk bersama-sama ikut membantu ibu Paijem dan Aris.
Berikut note tulisan Yulita Angelina yang saya ceritakan diatas, dengan sedikit saya edit pada nama-nama instansi kesehatan supaya menghindari kesan-kesan yang melenceng dari maksud penulis membuat note tersebut:




Beberapa hari yang lalu, saya mendapatkan cerita dari kakak saya dan teman-temannya, bahwa ada seorang anak yang mengidap hidrocephalus. Namanya Aris Nugroho. Ia tinggal bersama ibunya (Ibu Paijem) yang berumur 33 tahun. Mereka tinggal di Tingas Cepaka RT 06 RW 49 Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul. Ayah Aris sudah sejak lama meninggal dunia, sebelum Aris masih di kandungan. Sekarang, Aris sudah berumur 12 tahun. Namun ia tidak bisa bergerak dari tempat tidurnya sendirian. Untuk berpindah-pindah tempat, Aris digendong oleh ibunya. Ibu Paijem merupakan ibu yang sangat kuat dan luar biasa. Ia bekerja keras, membanting tulang agar Aris dapat sembuh. Bahkan Ibu Paijem pernah mengemis di Beringharjo untuk membiayai biaya di rumah sakit. Aris mengidap penyakit hidrocephalus sejak umur 5 tahun, diduga karena malpraktek di sebuah rumah sakit di Yogyakarta. Menurut cerita Ibu Paijem, saat badan Aris panas, petugas kesehatan disana menyuntikkan sesuatu lewat kepala Aris (sekitar pelipis). Namun, Aris tidak membaik, tetapi malah kepalanya yang membesar. Diduga awalnya Aris terkena Radang Selaput Otak, karena tidak mendapatkan perawatan yang optimal dan kondisi keluarga yang kurang beruntung membuat Aris kemudian berada dalam kondisi dengan kepala semakin membesar. Pernah Ibu Paijem mendapatkan 900.000 dari hasil mengemis, namun uang ini juga habis untuk biaya pulang pergi Bantul-Jogja dan mengurus segala keperluan Aris di rumah sakit agar bisa segera dioperasi. Namun karena tidak memiliki dana, termasuk tidak memiliki Kartu Tanda Miskin, beliau tidak mendapatkan pelayanan seperti yang diharapkan sebelumnya. Sungguhpun demikian, usaha kakaknya untuk mendapatkan Surat Tanda Miskin dari Dukuh waktu itu tidak disetujui karena katanya quota penduduk miskin telah habis. Syukur saat ini untuk pengobatan Aris telah dibantu oleh salah satu RS Panti Rapih Jogjakarta dan sampai sekarang untuk biaya pengobatan Aris dan pemeriksaannya bisa mendapatkan Rp.0,- biaya. Namun, karena kondisi Aris ibu Paijem masih memerlukan bantuan untuk perawatan Aris karena beliau belum bisa bekerja (karena tidak bisa meninggalkan Aris sendirian di rumah). Beberapa hari yang lalu, kakak saya dan beberapa teman2nya datang berkunjung ke rumah Ibu Paijem bersama seorang dokter. Dari kunjungan ini, mereka mendapatkan info terbaru bahwa Ibu Paijem pun ternyata sedang sakit yang tak pernah diceritakan kepada siapapun sebelumnya sejak bertahun-tahun. Ibu Paijem telah kehilangan sebagian tulang tengkoraknya tanpa alasan yang jelas (ketika ditanya kepada Ibu Paijem sendiri, beliau benar2 tidak ingat karena kejadian apa), sehingga sebagian otak ada yang terhubung langsung dengan kulit kepala Ibu Paijem. Hal ini menyebabkan Ibu Paijem selalu merasa pusing dan sebenarnya sering pingsan. Setelah mengetahui hal ini, mereka langsung melakukan serangkaian pemeriksaan di sebuah rumahsakit dan lab swasta di Yogayakarta untuk mengetahui lebih rinci keadaan Ibu Paijem. Sejauh ini, pemeriksaan yang telah dilaksanakan adalah periksa ke dokter bedah syaraf dan ureum dan kreatinin di lab tersebut. Kamis (3 Oktober 2012) juga sudah melakukan CTscan kepala Ibu Paijem.  Pemeriksaan ini diperkirakan akan memerlukan dana yang besar karena akan berakhir pada bedah syaraf di kepala Ibu Paijem, untuk itu bagi teman-teman yang ingin menyumbangkan dana untuk Ibu Paijem dan Aris, atau ingin membantu menggalang dana bisa langsung menghubungi saya. Untuk update info selanjutnya, bisa gabung ke grup bb kami, atau bergabung ke group fb: Indonesia Ceria. Berikut ini saya lampirkan beberapa foto terkait kasus Aris dan Ibu Paijem:

Hasil CT Scan ibu Paijem
Hasil CT Scan ibu Paijem

Ibu Paijem.
Ibu Paijem.

Aris dan Ibunya.
Aris dan Ibunya.

Aris.
Aris.



Sebelum diantar check up ke Rumah Sakit dan Prodia.
Sebelum diantar check up ke Rumah Sakit dan Lab.


Saat ini, kakak saya dan teman-temannya sedang mengumpulkan dana untuk membantu pemulihan kondisi Ibu Paijem dan Aris. Tolong bantu sebarkan kepada teman-teman Anda ataupun kerabat Anda. Terima kasih atas segala dukungan dan doa dari teman-teman yang membantu dan menjadi donatur. Semoga Tuhan membalas kebaikan Anda sekalian. Berkah Dalem. 

Berikut saya tambahkan hasil foto CT scan terbaru yang baru siang ini tadi di upload oleh admin Group Indonesia Ceria ibu Paijem yang saya ambil dari http://www.facebook.com/media/set/?set=a.318343418264912.66700.317847998314454&type=1






Piye? Apakah ada yang ngembeng(berkaca-kaca) sewaktu membaca note diatas seperti saat saya membacanya pertama kali?

Tapi bukan masalah ngembeng(berkaca-kaca) yang menjadi tujuan saya dalam mengangkat tulisan mbak Yulita Angelina itu, seperti judul diatas "Knocking Heart" atau mengetuk hati teman-teman semua yang membaca tulisan ini untuk bersam-sama kita membantu bu Paijem dan Aris anaknya. Jika teman-teman terketuk hatinya untuk ikut bersama membantu Ibu Paijem dan Aris teman-teman bisa mencari infonya dengan menghubungi mbak Yulita Angelina di link FB-nya langsung berikut ini : http://www.facebook.com/yulita.angelina 
Atau mbak Valentina Ermita Herdani di FB-nya : http://www.facebook.com/valentina.herdani
atau kalau mau transfer langsung ke nomer rekenening  BCA KCU Yogyakarta Nomor 

0373248824 atas nama Yudho Cahyo Nugroho.







Wednesday 26 September 2012

"X+1"nya Mr. Samino



Mr. Samino atau Mr. Sam nama yang bagi kami alumni dan siswa-siswa SMA De Britto pasti tidak asing. Begitu mendengar namanya pasti langsung terlintas dipikiran tentang seorang guru yang sederhana dan selalu tersenyum kepada siapa saja yang ditemuinya. Beliau guru yang sangat sederhana seperti halnya guru-guru di desa-desa yang sering kita lihat di tv, dengan penampilan berkemeja biasa saja namun terlihat rapi. Dengan rambutnya yang mulai terkikis(botak) dan beliau selalu berusaha menutupi itu dengan menyisir rambutnya sedemikian rupa namun sepertinya cara itu gagal menutupinya karena tetap saja terlihat. Seorang guru yang memiliki cara komunikasi dengan para siswanya yang menurut saya sangat unik dan sangat langka untuk ditemui.

Mr. Samino apakah beliau guru bahasa inggris sehingga dipanggil "Mister"? Oh bukan, beliau adalah guru yang mengampu mata pelajaran sejarah dan antropologi di sekolah kami. Dalam mengajar beliau selalu menggunakan cara yang unik diluar dugaan kami, beliau selalu memunculkan analogi-analogi yang menurut kami sangat kocak dan lucu dalam penyampaian materi mengajarnya. Namun dengan cara itu juga malah membuat materi pelajaran bisa kami terima dengan baik. Seperti contohnya tentang sebuah analogi kemerdekaan bangsa kita yang beliau gambarakan bahwa seperti orang mau mencuri buah mangga tetangganya. Beliau mengambil contoh beberapa orang teman saya dengan berkata demikian, " Kae si wong gunung kae sing menek uwite, terus kae sing wong ndeso kae sing nunggu nang ngisore nampani pelem, terus kae anake doktere kae sing ngawasi karo ngipasi menyan (Itu orang gunung yang panjat pohonnya, lalu orang kampung itu yang jaga dibawah buat tangkap mangganya, lalu tu anak dokter itu yang ngawasi dan ngipasin kemenyan)."

Kami semua terdiam heran mendengar perumpamaan beliau tersebut, entah cuma saya atau yang lain juga heran dengan adanya "ngipasin kemenyan" dalam analogi beliau tersebut. Lalu tak lama setelah kami kebingungan ada salah satu dari kami yang nylekop, "Kok nganggo ngipasi menyan barang nggo ngopo pak? (Kok pake ngipasin kemenyan segala buat apa pak?)". Beliau dengan senyum khasnya yang lebar menjawab, "Hehehe, woo lah iyo ben sing duwe pelem kui kambonan menyan terus wedi dikirone nek ono suoro krusek-krusek ben dikiro setan (Hehehe, woo lah iya biar yang punya mangga kebauan kemenyan terus ketakutan kalau ada suara krusek-krusek biar dikira hantu)."

Mendengar penjelasan beliau tersebut berbagai reaksi dari kami muncul secara hampir bersamaan, ada yang geleng kepala, ada yang tepok jidat, ada yang komentar "Ra mutu pak!". Namun dari komunikasi unik itulah banyak materi pelajaran yang menjadi mudah kami ingat, bahkan kami ingat sampai sekarang setelah bertahun-tahun kami lulus. Beliau juga sering menjadi wali kelas, dan kelas dimana beliau menjadi wali kelasnya dijamin 100% naik kelas atau lulus semua. "Itu sudah biasa aja kali."Mungkin itu pendapat yang akan dari teman-teman semua yang dari sekolah lain. Kenapa bisa begitu? Di sekolah kami De Britto saat-saat naik kelas adalah hal yang paling sangat menegangkan dan sangat mendebarkan, bisa lebih menegangkan daripada saat nyepep (nonton bokep) dan lebih mendebarkan dari saat menonton film horor. Ya di sekolah kami terkenal dengan budaya rame-rame tidak naik kelas. Bisa dibilang jumlahnya fantastis dalam 1 angkatan angka ketidak naik kelasan tersebut. Dari 1 angkatan saja yang tidak naik kelas bisa dikumpulkan menjadi 1 kelas sendiri dari 6 kelas pararel dengan jumlah siswa perkelasnya 40-an siswa. Itu saja sudah dikurangi yang dikeluarkan. Wah kenapa banyak begitu? Pasti siswanya goblog-goblog ya? Bisa jadi mungkin benar tanggapan seperti itu, tetapi dari proses penerimaan siswa De Britto sendiri jika teman-teman tahu bagaimana ketatnya proses seleksi dan tes masuk siswa pasti akan berpikir lain. Lalu kenapa bisa jumlah yang tidak naik kelas begitu banyak? Ya itu seperti yang sudah saya bahas pada tulisan saya yang lain di sini.

Lalu bagaimana Mr. Samino bisa selalu menjadi wali kelas yang sukses dengan 100% kenaikan dan kelulusan siswanya? Mr. Samino atau pak Samino itu punya trik tersendiri, bisa dibilang beliau sangat perhatian dengan anak-anak dikelasnya.  Bagi siswa-siswa yang nilai rata-ratanya berada dibawah nilai  minimal pasti mendapat kunjungan "istimewa" beliau. Setiap jam belajar malam pada umumnya jam 19.00 sampai jam 21.000, siswa yang nilainya dibawah nilai minimal tersebut dijamin tidak akan bisa pergi dari tempat tinggalnya atau kosnya karena pak Samino pasti sudah menunggu didepan rumah atau kos mereka untuk memastikan siswa tersebut tidak pergi dan ada di rumah atau kos untuk belajar. Bahkan dengan alasan mau cari makan pun beliau tidak akan mengijinkan siswa tersebut untuk pergi sebelum belajar. Yah dengan cara begitu siswa tersebut mau tidak mau tetap harus belajar dulu meskipun lapar melilit. Itulah trik Mr. Samino yang melegenda dengan cara komunikasi yang uniknya dan 100% kenaikan kelas dan kelulusan siswa dari kelasnya.

Pasti banyak yang bertanya hubungannya dengan "X+1"nya Mr. Samino apa? "X+1" yang diajarkan Mr. Samino kepada kami mempunyai maksud  X itu individu atau seseorang sedangkan +1 itu adalah kelebihan yang berguna bagi orang lain dan itu pasti dimiliki oleh setiap orang, jadi "X+1" itu mengajarkan kepada kita kalau seseorang sebisa mungkin jadilah diri sendiri dan miliki kelebihan yang berguna bagi orang lain baik itu secara langsug maupun tidak langsung.

Yah itulah Mr. Some I Know (Samino) dengan X+1 beliau

Sumber Gambar dari : http://aakuntoa.wordpress.com/2011/11/25/guru-samino/

Thursday 20 September 2012

Refleksi dari Kisah 3 Pria Berjanggut

Suatu ketika, ada seorang wanita yang kembali pulang ke rumah dari perjalanannya keluar rumah, dan ia melihat ada 3 orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan. Wanita itu tidak mengenal mereka semua.
Wanita itu berkata dengan senyumnya yang khas: “Aku tidak mengenal Anda, tapi aku yakin Anda semua pasti orang baik-baik yang sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku pasti punya sesuatu untuk mengganjal perut”.

Pria berjanggut itu lalu balik bertanya, “Apakah suamimu sudah pulang?”

Wanita itu menjawab, “Belum, dia sedang keluar”.

“Oh kalau begitu, kami tak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suamimu kembali”, kata pria itu.

Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang isteri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada istrinya, “Sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam ini”.

Wanita itu kemudian keluar dan mengundang mereka untuk masuk ke dalam.

“Maaf, kami semua tak bisa masuk bersama-sama”, kata pria itu hampir bersamaan.

“Lho, kenapa? tanya wanita itu karena merasa heran.

Salah seseorang pria itu berkata, “Nama dia Kekayaan,” katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut di sebelahnya, “sedangkan yang ini bernama Kesuksesan, sambil memegang bahu pria berjanggut lainnya. Sedangkan aku sendiri bernama Kasih-Sayang. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa diantara kami yang boleh masuk ke rumahmu.”

Wanita itu kembali masuk kedalam, dan memberitahu pesan pria di luar. Suaminya pun merasa heran. “Ohho…menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk ke dalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan.”

Istrinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, “Sayangku, kenapa kita tak mengundang si Kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia untuk membantu keberhasilan panen ladang pertanian kita.”

Ternyata, anak mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah. “Bukankah lebih baik jika kita mengajak si Kasih-sayang yang masuk ke dalam? Rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan Kasih-sayang.”

Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka. “Baiklah, ajak masuk si Kasih-sayang ini ke dalam. Dan malam ini, Si Kasih-sayang menjadi teman santap malam kita.”

Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 pria itu. “Siapa diantara Anda yang bernama Kasih-sayang? Ayo, silahkan masuk, Anda menjadi tamu kita malam ini.”

Si Kasih-sayang berdiri, dan berjalan menuju beranda rumah. Ohho.. ternyata, kedua pria berjanggut lainnya pun ikut serta. Karena merasa ganjil, wanita itu bertanya kepada si Kekayaan dan si Kesuksesan.

“Aku hanya mengundang si Kasih-sayang yang masuk ke dalam, tapi kenapa kamu ikut juga?”

Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan. “Kalau Anda mengundang si Kekayaan, atau si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Namun, karena Anda mengundang si Kasih-sayang, maka, kemana pun Kasih sayang pergi, kami akan ikut selalu bersamanya. Dimana ada Kasih-sayang, maka kekayaan dan kesuksesan juga akan ikut serta. Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami berdua ini buta. Dan hanya si Kasih-sayang yang bisa melihat. Hanya dia yang bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka, kami butuh bimbingannya saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini.”

Refleksi kecil:
Banyak Orang tenggelam dalam kesibukkan dalam bekerja setiap harinya, terkadang memaksa kemampuan diri melebihi batas maksimum. Bahkan bekerja 7hari dalam semingu, bahkan ada yang 24 jam sehari  selama seminggu full atau seperti slogan sebuah restoran cepat saji yang terkenal 24/7.

Semua orang lakukan untuk mencapai kesuksesan dan  kekayaan yang mereka inginkan. Banyak yang dikorbankan untuk itu semua, memang sebuah keberhasilan memerlukan pengorbanan. Bahkan sering terjadi keluarga menjadi korbannya, bisa dikatakan ironis karena sesungguhnya kita ingin mencapai kesuksesan dan kekayaan itu untuk keluarga kita untuk orang-orang yang kita cintai. Namun terkadang karena itu pula keluarga menjadi hancur. Bukan itu saja, terkadang malah kita melupakan kebutuhan rohani untuk kita sendiri, waktu untuk keluarga.

Seperti kisah diatas kasih sayang sangat penting untuk kita bisa mencapai kesuksesan serta sita-cita yang kita impikan, terutama untuk keluarga kita. Meskipun terkadang hanya ada waktu sebentar untuk keluarga alangkah baiknya kita betul-betul memberikan waktu itu untuk keluarga sebagai bentuk kasih sayang kita kepada mereka. Jadikan waktu yang sedikit itu menjadi waktu yang sangat baik kualitasnya bagi kebersamaan kita dengan keluarga. Bagaimanapun juga kita tanpa dukungan kasih sayang keluarga akan susah mencapai apa yang kita cita-citakan.

Sebenarnya banyak terlintas dalam pikiran saya mengenai refleksi dari cerita diatas namun saya rasa kalau terlalu panjang mungkin orang akan malas membacanya, oleh karena itu saya rasa tulisan refleksi saya diatas cukup mewakili apa yang ada dipikiran saya.

Monday 17 September 2012

Pilpres Alumni De Britto 2012

Pilpres? Pemilihan Presiden Alumni ya? Iya, pemilihan presiden alumni atau ketua ikatan alumni JB(De Britto). Momen 3 tahunan kami kali ini bertepatan dengan hingar bingar pemilihan gubernur ibu kota Jakarta. Dalam pemilihan gubernur ibu kota para calon sibuk berkampanye dan berorasi membangun pencitraan diri untuk menarik simpati serta dukungan supaya mereka mendapat suara terbanyak sehingga bisa menjabat sebagai gubernur ibukota kita itu, namun para calon presiden alumni kami malah adem ayem tanpa kampanye, orasi kepada kami masyarakat alumni JB.
Berbeda dengan para politikus yang suka saling jegal dan sibuk membuat pencitraan diri yang bagus-bagus untuk mereka sendiri, para capres alumni kami ini malah saling dukung antara calon yang satu dengan yang lain. Mereka bukan membuat pencitraan untuk diri mereka sendiri namun malah menunjukkan calon lain lebih bagus dari dirinya sendiri. Lah kok bisa malah begitu? Saya juga kurang tahu kenapa mereka seperti itu. Mungkin juga mereka maju menjadi capres karena dijluntrungke(diajukan) oleh teman yang lain, atau mereka mungkin merasa belum mampu mengemban tugas sebagai presiden alumni JB. Memang tanggungjawab sebagai presiden alumni JB menurut saya sangat berat. Tugas utama presiden alumni JB adalah mampu menjaga kerukunan dan keakraban para alumni JB. Nah itulah yang paling berat, karena para alumni JB sendiri tersebar di seluruh dunia. Jadi mereka takut mengemban tanggung jawab itu? Apa karena itu juga mereka jadi saling dukung supaya calon yang lain saja yang terpilih? Menurut saya tidak seperti itu, saya rasa mereka hanya merasa belum pantas untuk mengemban tugas tersebut. Bila salah satu dari mereka terpilihpun saya yakin beliau pasti bisa mengemban tugas itu dengan baik selama 3 tahun ke depan.
Pilpres alumni JB 2012 ini terasa lebih istimewa dan memang ini pertama kalinya pilpres alumni kami secara online. Untuk pilpres sebelumnya memang cara pemilihannya cuma secara tertutup dan dihadiri oleh puluhan alumni saja. Namun tahun ini kami ingin ada perubahan dan perbedaan dalam pilpres supaya lebih terbuka yaitu dengan cara online. Hal ini juga mampu memfasilitasi para alumni yang berada dimana saja untuk ikut memilih presiden alumni sesuai dengan pilihan mereka.
Panitia pilpres membuat sebuah web khusus untuk pilpres kali ini, para alumni dihimbau untuk mendaftar  pada web tersebut supaya bisa mencoblos. Memang dari sistem ini masih sangat mungkin terjadi pendaftaran dengan account palsu dan banyak celah untuk kecurangan. Namun melihat dari pola kampanye para capres yang saling dukung satu dengan yang lain dan berdasar kesadaran kami masing-masing para masyarakat alumni JB, saya kira kecurangan itu sangat kecil kemungkinannya akan terjadi. Yah meskipun tidak dipungkiri bisa saja terjadi.
Proses pendaftaran pemilih sebenarnya telah berakhir kemarin 17 September 2012 dan hari ini 18 September 2012 mulai pemungutan suara, namun panitia memperpanjang masa pendaftaran pemilih hingga 21 September 2012. Untuk pengumuman hasilnya sendiri di website pilpres tertulis 25 September 2012.

Mungkin memang sistem pilpres online pertama ini belum sebagus yang diharapkan dan masih banyak celah juga yang bisa dipakai untuk kecurangan. Tapi saya salut dengan panitia pilpres yang berani melakukan terobosan baru dengan pilpres online alumni JB tahun ini. Semoga pilpres berikutnya sistemnya bisa lebih bagus dan siapa tahu ini menginspirasi pemerintah untuk melakukan  pemilu online.

Selamat memilih para manukers!!! One man for one vote!!! AMDG!!!

Sumber gambar:http://pilpres.debritto.net/

Saturday 15 September 2012

Gojek Kere

Gojek Kere? Apa itu? Gojeknya para kere? Atau Gojek yang ngawur asal gojek?
Mungkin itu pertanyaan yang muncul dalam benak teman-teman ketika membaca judul tulisan saya diatas. Gojek kere (gojek = bercanda) itu sebenarnya memang bisa dibilang bercanda dengan gaya kere, tapi kere disini bukan arti kere miskin bukan ya, namun gojek atau bercanda yang asal nyeplos yang bisa dibilang ga nyambung satu dengan yang lain.

Itulah yang sering terjadi diantara kami para manuk De Britto, seperti belakangan yang hangat diperbincangkan dalam topik group alumni sekolah kami itu. Malah kemarin ada yang memberinya judul "Gojek Kere Menuntut Keadilan", bagus juga judulnya. Menuntut keadilan? Maksudnya? Iya hal itu terjadi karena kemarin sempat ada sebuah thread di group yang di posting oleh salah seorang alumni yang menyinggung soal slogan "Tidak Takut, Tidak Malu, Tidak Malas" milik kami yang pernah juga saya singgung dalam tulisan saya sebelum ini.

Lah apa hubungannya gojek kere dengan menuntut keadilan dan thread itu apa? Hubungannya mereka baik-baik saja, hehehehehe  (bercanda). Ya hubungannya adalah dalam komentar-komentar di thread tersebut banyak sekali gojek kere didalamnya yang menanggapi soal thread tersebut. Malah thread tersebut bisa dibilang fenomenal dengan komentar terbanyak dengan gojek kere khas ala De Britto.
Lalu dimana menuntut keadilannya? Oke, kembali ke thread yang dibuat oleh salah seorang alumni yang saya sebut diatas dimana banyak komentar gojek kere. Nah pada suatu saat thread tersebut tiba-tiba hilang dari gorup, entah di hapus atau di delete oleh admin atau yang empunya thread itu sendiri kurang tahu. kemudian muncul berbagai macam reaksi terutama dari angkatan tahun tertentu. Mungkin seangkatan dengan yang empunya thread. Dari situ banyak yang menduga admin sewenang-sewenang, terus ada yang menyebut admin De Brittonya KW, dan masih banyak lagi.
Akhirnya si empunya thread menjelaskan kalau BB-nya baru di servis dan ketika beliau meminta salah satu OB-nya untuk menservis BB-nya ke teknisi tanpa sengaja FB di BB-nya tersebut masih belum di sign out dan beliau bilang si teknisi menghapus thread yang beliau buat di group alumni kami karena dianggap file-nya besar karena memang di thread beliau tersebut paling banyak komentarnya. Nah karena kejadian itulah terjadi kesalah pahaman kenapa thread dihapus, apa karena malu disindir soal slogan itu, dan masih banyak lagi. Para alumni menuntut orang yang menghausnya untuk mengaku dan meminta maaf. Meskipun sudah ada penjelasan oleh si empunya thread namun beberapa alumni masih saja kurang percaya dengan penjelasannya. Sampai sekarang pun debat dengan gojek kere khas De Britto. Loh kok khas ala De Britto? Lah iya wong kami alumni De Britto kok, kalo alumni sekolah lain ya jadi khas sekolah lain. hehehe.

Memang khasnya dimananya? Gojek kere kami memang jika yang belum terbiasa akan bingung jika membacanya atau mengikutinya. Kenapa bisa begitu? Memang gojek kere diantara kami buat orang lain mungkin bisa dibilang terlalu kasar dan sangat ngawur dan bahkan mungkin mlenceng jauh dari toik pembicaraan. Namun untuk diantara kami sendiri diantara para manukers(sebutan untuk anak De Britto dan alumninya) hal gojek dan bercandaan sekasar apapun sudah biasa bagi kami, konteks kami bercandaan sebenarnya bukan sebuah kesempatan untk saling hina dan menjatuhkan atau merendahkan, namun dari situ kami bisa menjadi lebih akrab satu dengan yang lain. Meskipun debat disertai gojek kere dan terlihat amburadul, namun jangan kira kami cuma asal ngawur dalam menulis komentar tanpa ada masukkan, istilahnya asal njeplak/ asal ngomong. Bukan gojek kere seperti itu yang kami lakukan, tetapi dalam gojek kere kami tetap saja terselip ide, kritik dan saran yang membangun.

Wednesday 5 September 2012

Jawa dan Cina Di De Britto, Rasis?

   
 "Wooo cen dasar jawa kowe ki, patute dadi batur! (Wooo emang dasar jawa kamu, pantesnya jadi babu!)".
    "Wooo cino kemlethek, ajar sisan kowe. Kono jogo toko, cino bodo cencang toko! (Wooo cina sok, kuhajar juga nanti. Sana jaga toko, cina bodoh diikat di toko!)."


Itu teriakkan yang terjadi antara 2 orang remaja lelaki yang pertama seorang remaja lelaki Tionghoa dan satunya lagi seorang remaja lelaki Jawa. Teriakkan atau kalimat seperti itu yang sering terdengar dalam lingkungan sekolah kami di SMA Kolese De Britto. Wah sekolah apaan itu kok rasisnya kelewat batas gitu?! Yah mungkin seperti itu kira-kira tanggapan orang kalau mendengar teriakkan dengan kalimat seperti diatas. Namun, bagi kami itu bukanlah wujud rasis. Bukan rasis gimana wong kayak gitu? Iya bukan rasis, bagi kami ini adalah sebuah wujud keakraban sesama kami. Baik itu chinese, jawa, sunda, batak, dayak, papua. Memang terkesan kasar, tapi rasis buat kami tidak berlaku, kami semua sama satu keluarga, keluarga SMA Kolese De Britto.

Ini salah satu hal yang saya dapati di De Britto yang sangat berbeda dengan lingkungan di luar. Di lingkungan kita sehari-hari terkadang kita jumpai adanya sebuah kenyataan yang bisa dibilang ekslusivitas antara orang pribumi dan orang Tionghoa. Banyak warga pribumi yang terkesan enggan bergaul dengan warga Tionghoa dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dalam masyarakat kita seperti sudah mengakar dan bahkan bagi pribumi sudah tertanam dalam pikiran mereka "Anti Tionghoa". Kejadian pada kerusuhan tahun 1998 hal itu begitu terlihat jelas dimana banyak warga Tionghoa yang menjadi korban dan sasaran adalah warga Tionghoa. Orang-orang beranggapan bahwa warga Tionghoa lah penyebab krisis waktu itu atau mungkin itulah puncak dari "Anti Tionghoa" yang sudah terlanjur mengakar dan berubah menjadi kebencian masyarakat pribumi pada warga Tionghoa. Kenapa dalam masyarakat pribumi kita bisa tertanam pola pikir seperti itu? Malah dalam kasus kerusuhan saat itu hal itu menjadi terlihat sangat wajar, dan tindakan rasis "Anti Tionghoa" tersebut menjadi mendapat tempat yang biasa. Dari kejadian itupun perhatian yang muncul malah kebanyakan dari luar negeri seperti lembaga-lembaga HAM PBB dan juga lembaga-lembaga HAM internasional lainnya.
Kembali ke awal tentang 2 kalimat pertama yang saya tuliskan diatas. Bagaimana itu kalian bilang bukan rasis dan sebagai wujud keakraban? Semua kembali pada konteks dan cara pikir kita masing-masing (wedeh agak susah bahasanya, hehehe). Iya bagi kami kalimat atau kata-kata semacam itu bukanlah sebuah serangan atau wujud cemoohan satu dengan yang lain. Bukan cuma kalimat seperti diatas yang sering terlontar diantara kami sebagai wujud keakraban dan kedekatan satu sama lain, namun juga kata-kata makian yang sering orang lain gunakan untuk merendahkan orang lain malah kami gunakan untuk memuji keberhasilan orang lain. Kata makian untuk memuji orang lain? Gimana bisa? Yang benar sajalah seperti itu? Memang benar, kami memang seperti itu. Kami siswa De Britto diajarkan untuk memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang, tidak cuma di De Britto namun di sekolah Kolese lain pun sama seperti halnya di Kolese Loyola Semarang, Gonzaga Jakarta, Kanisius Jakarta, seminari Mertoyudan Muntilan, dan Kolese-kolese lain di Indonesia. Hal itu merupakan wujud dari pendidikan bebas kami yang sudah saya tuliskan di tulisan saya sebelumnya.

Kata makian atau cemoohan yang mungkin menurut orang lain merendahkan tapi bagi kami itu sebagai wujud keakraban dan wujud pujian satu sama lain, bukan sebagai suatu hal yang membatasi atau wujud kebencian. Malah dari hal itu kami menjadi lebih dekat satu dengan yang lain, menjadikan kami lebih akrab, menjadikan kami bisa lebih menghargai satu dengan yang lain sebagai suatu pribadi yang unik dari diri kami masing-masing. Menjadikan perbedaan diantara kami menjadi sebuah ragam yang saling melengkapi dan saling memberikan warna. hal itu pula yang membuat ikatan diantara kami bisa menjadi kuat dan muncul rasa rindu satu sama lain untuk berkumpul karena kami merasa sebagai sebuah keluarga tanpa memandang ras, suku, bangsa atau asal kami darimana.

Sunday 26 August 2012

Tidak Takut, Tidak Malu, Tidak Malas?


"Tidak takut, tidak malu, tidak malas!", itulah slogan yang sewaktu inisiasi sering didengungkan dan kami teriakkan. Saya beberapa hari yang lalu mengunjungi grup alumni SMA saya, SMA Kolese De Britto dan disana banyak berita tentang acara Tumbuk Ageng, sebuah acara yang diadakan dalam rangka peringatan 64 tahun sekolah kami. Salah satu alumni ada yang membuat thread tentang slogan diatas, awalnya tentang "Tidak Malu". Apa maksud "Tidak Malu" dari slogan itu? Apakah tidak malu yang dimaksud "Waton ra duwe isin" (asal tidak punya malu) / "Rai Gedheg" (Rai= muka, Gedheg= anyaman bambu) yang pada ujungnya malah bisa membuat malu?  Pada awalnya saya mencoba menebak apa yang melatar belakangi beliau menulis thread tersebut. Saya mencoba membaca dialog seru melalui komentar-komentar pada thread tersebut, banyak berbagai tanggapan dengan gaya khas cah JB (siswa de Britto) yang bergaya "sersan" (serius tapi santai), diselingi dengan clekopan (celetukkan) guyon namun tetap pada jalur dan tema yang dibahas. Clekopan guyon yang muncul malah menambah suasana yang ada bukan menjadi OOT/Out Of Topic (begitu mungkin gaya bahasa anak gaul sekarang biar kelihatan gaul saya coba ikutan, :P), namun malah menjadikan suasana diskusi jadi lebih rileks dan santai tidak tegang dan panas seperti mungkin yang sering terjadi pada dialog-dialog yang lain yang bisa berujung adu otot. Kembali pada rasa penasaran saya tentang latar belakang thread tersebut saya mencoba membaca thread yang lain di dalam grup, saya menemukan sesuatu yang mengejutkan yang dalam sebuah thread yang ditulis oleh alumni yang lain mengenai perayaan misa pada acara Tumbuk Ageng yang dipimpin oleh romo Kardinal sedikit saya kutip salah satu kalimat dalam thread beliau sebagai berikut: 

"...mosok para rama durung nganti mlebu ruang sakristi tapi para siswane wis membubarkan diri meninggalkan area misa..." 


Mungkin ini bukan yang melatar belakangi alumni pertama yang membuat thread soal "tidak malu" namun menurut saya kedua thread ini berhubungan. Kenapa? Karena dalam sopan santun atau dalam tradisi misa yang pernah saya ikuti kita sebaiknya menunggu pastur/romo pemimpin misa memasuki ruang sakristi baru setelah itu kita bisa meninggalkan area tempat misa. Mungkin hal seperti ini tidak pernah dipermasalahkan cuma mungkin secara sopan santun dari pribadi kita sebagai penghargaan kepada pemimpin ekaristi atau pastur/romo yang telah bersedia memimpin ekaristi untuk kita. Apalagi kita sebagai keluarga dari SMA kolese De Britto yang sering meneriakkan slogan "Tidak takut, tidak malu, tidak malas!", bukan berarti "Rai Gedheg" seperti yang diungkapkan oleh salah seorang alumni diatas. Apalagi hal itu dilakukan oleh para siswa De Britto yang masih sekolah disana dan baru saja menjalani inisiasi. Jadi apakah inisiasi mereka tidak diperkenalkan dan diberi tahu tentang slogan "Tidak takut, tidak malu, tidak malas!" sampai kejadian ini terjadi? Saya rasa para siswa dalam inisisasi tentu saja diajarkn tentang slogan itu seperti pada inisiasi yang saya ikuti dulu dan inisiasi pada tahun-tahun yang lain. Lalu kenapa bisa itu terjadi? Yah kembali pada thread awal tentang sampai mana pemahaman kita semua yang mengenal slogan itu tentang batas "tidak malu". Kalau dalam kejadian misa tersebut saya beranggapan yang terjadi adalah "Rai Gedheg" yang sebenarnya lebih ke rasa untuk menghargai orang lain terutama orang yang lebih tua. Belakangan saya banyak melihat tentang anak muda yang kurang bisa bersopan santun terhadap orang yang lebih tua. Mungkin hal ini juga yang mulai "menjangkiti" beberapa siswa De Britto. Untuk saya pribadi "Tidak Malu" sendiri tidak bisa kita batasi atau generalisasi harus dibatasi sampai mana batasan tidak malunya, antara seorang dengan orang lain tentu saja bisa berbeda batasannya. Hal itu bisa karena pengaruh lingkungan, pekerjaan, serta orang-orang disekitarnya. Saya kembali teringat sewaktu inisiasi tentang slogan "Tidak takut, tidak malu, tidak malas!" diatas, bahwa pada intinya semua harus mengarah pada hal positif disertai dengan tindakan nyata. Semua batasan kembali pada kita masing-masing bagaimana kita tetap menjaga dan melaksanakan slogan itu tentunya pada arah yang positif. Sebenarnya tidak hanya pada "tidak malu namun juga pada "Tidak Takut" dan "Tidak malas".  Pertanyaan untuk saya sendiri "Apakah saya telah bisa melaksanakan slogan "Tidak takut, tidak malu, tidak malas!" diatas?". Menurut saya pribadi saya belum bisa secara 100% melaksanakannya, saya masih belajar untuk menerapkannya dalam hidup saya. Berarti belum melakukan slogan itu sama sekali dong? Ya bukan sama sekali saya tidak melakukannya namun saya belajar dengan melakukannya istilah kerennya "Learning by Doing", yah mungkin saya baru sebagian kecil menerapkannya dalam hidup saya, namun bukankah dari hal yang kecil akan muncul hal yang besar. :)


Sumber gambar : http://debritto.sch.id/images/photo/13.jpg

Friday 10 August 2012

Masa Awal Sekolah di De Britto


Saya hanya bisa bengong waktu ditanya orang tua saya terutama ayah saya  seperti ini “Iki biji opo kok koyo ngene? (Ini nilai apa kok seperti ini?)”, sambil menunjukkan selembar kertas HVS yang berisikan laporan nilai mid semester pertama atau 3 bulan pertama waktu saya sekolah di De Britto. Saya mencoba melihat isi tulisan dikertas itu tanpa mengambil kertas itu dari tangan ayah saya. Dalam kertas itu saya lihat nilai yang tertulis mungkin bisa untuk dipakai nyanyi karena memang nilainya do-re-mi alias nilainya jeblok semua dan mungkin kalau ditulis dengan tinta merah itu sebagian besar merah semua angka yang tertulis cuma sebagian kecil yang bisa ditulis pakai tinta hitam. Nilai saya di bidang studi yang masuk dalam kategori mata pelajaran  IPA  seperti  fisika, kimia, dan biologi serta matematika. Hanya biologi yang diatas 5 itupun nilainya 6, sedangkan fisika  4, kimia 2, dan matematika 2. Loh itu ditulis dilaporan siswa untuk orang tua siswa? Iya seperti itulah nilai yang tertulis dilaporan nilai siswa bahkan buku raport kami di SMA Kolese De Britto.
Kenapa di raport siswa ditulis nilai 3,4,2 bahkan 1 atau 0? Sudah sangat biasa ditempat kami. Tidak naik kelas puluhan orang dan kalau dikumpulkan sudah cukup untuk mengisi 1 atau 2 kelas itu juga sudah biasa disekolah kami ini. Di sekolah kami ini para guru bukannya pelit nilai atau tidak mau membantu siswa, tapi disinilah mental kami dibentuk. Tidak ada yang namanya nilai upah nulis dalam ulangan baik ulangan harian maupun ulangan semester serta dalam tugas-tugas kami. Jawaban salah ya tidak dapat nilai, jawaban betul baru dapat nilai. Tidak ada istilah nilai belas kasihan atau nilai upah nulis, malah waktu itu teman saya nilai tugasnya -7(dikurangi 7) dari nilainya yang 5 karena telat mengumpulkan tugas selama 7 minggu dan yah nilainya jadi -2.
Sekolah kami memang terkenal siswanya gondrong, urakkan, sekolah yang sangat bebas, namun dibalik kebebasan itu ada sebuah pertanggung jawaban yang harus kami emban untuk suatu bentuk kebebasan yang kami dapatkan. Kebebasan yang kami dapatkan dari sekoah kami in bukanlah bebas liar tanpa kendali. Namun kebebasan yang kami dapatkan mengajarkan kami bahwa kebebasan itu adalah sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan dan bukan suatu hal yang bisa membuat kami berbuat seenaknya tanpa batasan. Bukan yang bisa melakukan semuanya seenaknya sendiri, kalau itu namanya liar bukan kebebasan.
Memang kami diperbolehkan gondrong, pakaian bebas, sekolah boleh dengan sepatu sandal, namun itu semua bukan tanpa batasan atau bukan tanpa tanggung jawab. Tidak jarang kami mendengar komentar dari guru kami seperti “Percuma le kowe gondrong nanging bodo! (Percuma nak kamu gondrong tapi bodoh!)”, atau “Nek isih bodo ki ra sah gondrong sek (kalau masih bodoh itu jangan gondrong dulu)”. Itulah salah satu contoh yang mengajarkan pada kami bahwa kami bisa gondrong tapi jangan asal gondrong biar kelihatan sangar saja atau biar seperti preman, namun kami diajarkan disini meskipun penampilan kita gondrong sangar seperti preman namun pola pikir kita bukanlah seperti preman namun kita bisa menunjukkan bahwa kita ini orang berpendidikan meskipun bertampang preman. Seperti orang jawa bilang “Gondrong sing sembodo” yang bisa diartikan gondrong tapi tidak asal gondrong atau Gondrong tapi “berisi”/otaknya maksudnya.
Jujur saya sendiri pada awal sekolah di De Britto mengalami kesulitan mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan metode yang digunakan. Metode di sekolah kami ini berbeda dengan yang dipakai dengan sekolah-sekolah lain. Beda? Apanya yang beda? Orang sama gitu kok, ada guru didepan menjelaskan kepada siswa yang duduk rapi dideretan kursi lengkap dengan meja, tiap jam pelajaran 45 menit. Ya memang yang terlihat seperti itu, namun sebenarnya sangatlah berbeda. Bukan cuma boleh bebas seperti gondrong, pakaian sekolah bebas, boleh pakai sepatu sandal. Namun kami diajarkan bebas untuk berpendapat, bebas untuk menuangkan ide. Oleh karena itu sering dalam setiap jam pelajaran terjadi diskusi dan dialog antara guru dengan siswa tentang pelajaran terkait. Jadi dalam proses belajar mengajar setiap hari suasana belajar mengajar terasa begitu menarik dan dengan diskusi yang sering terjadi membantu siswa mampu untuk kritis dan bisa menganalisa suatu hal dan bisa memandang segala sesuatu dari berbagai sudut pandang.
Satu hal yang menurut saya sangat berharga dari De Britto adalah proses refleksi diri. Refleksi diri atau biasa orang bilang berefleksi ini pertama kali saya alami ketika saya diminta menuliskannya oleh seorang frater yang bertugas mengajar pelajaran religiusitas di De Britto karena saya tidak mengerjakan tugas yang diberikan. Dari kejadian itu saya baru mengerti apa itu sebenarnya “Refleksi diri”. Saya menganggap itu sebagai hukuman pada awalnya, namun setelah saya melakukanya dan dwaktu saya melakukannya saya menemukan hal lain dari sebuah “hukuman” menjadi  bisa dikatakan sebuah “hadiah”. Hadiah? Iya sebuah hadiah yang mengajarkan saya menjadi mengerti dan memahami apa itu sebenarnya “refleksi diri” atau “berefleksi”. Saya menjadi tahu bahwa berefleksi itu tidak hanya mengingat kesalahan atau kejadian yang telah kita lakukan atau telah terjadi, namun dengan kita mengingat kesalhan atau kejadian yang telah lalu kita bisa mengambil pelajaran dari masa lalu kita.

Thursday 9 August 2012

Inisiasi SMA Kolese De Britto



   “Ayo cepat!!! Tangga jangan ada yang dilompati!!!”, diiringi decitan sol sepatu kets yang berbahan karet bergesekkan dengan ubin lantai di lorong menuju aula. Nampak siswa-siswa baru termasuk saya segera berlarian kearah aula untuk mengikuti acara inisiasi di sekolah baru kami ini SMA Kolese De Britto Yogyakarta. Sebuah SMA swasta katolik yang siswanya cowok semua, serta menganut pendidikan bebas, namun bertanggung jawab. Hal itu tejadi 10 tahun yang lalu. 10 tahun yang lalu? Iya 10 tahun yang lalu dan sampai sekarang masih teringat cukup jelas dalam pikiranku. Kejadian 10 tahun yang lalu itu tiba-tiba terlintas di dalam pikiran saya  beberapa minggu yang lalu ketika saya menjemput siswa SMA pulang dari menjalani Masa Orientasi Siswa (MOS).

   Di sekolah kami waktu itu antara MOS dan inisiasi bukanlah sama, MOS dilaksanakan 3 hari pertama sewaktu kami masuk sekolah. MOS dilakukan di pagi hari, kemudian sorenya kami mengikuti seleksi untuk masuk tim inti beberapa ekstra kurikuler seperti sepak bola, voli, dan tentu saja yang menjadi andalan sekolah kami yaitu basket. MOS kami diperkenalkan dengan sekolah kami, mulai dari kegiatan yang ada disekolah, profil sekolah, profil siswa, visi dan misi sekolah, termasuk lagu mars sekolah kami yang sampai sekarang masih teringat jelas dalam ingatanku, dan kami para alumni selalu menyannyikannya ketika kami berkumpul dalam sebuah acara khusus.

   Setelah minggu pertama selesai dengan MOS, minggu kedua dimulailah masa inisiasi yang dimulai pada siang hari pukul 13.30, karena paginya kami tetap belajar namun jam pelajaran dikurangi sehingga kami pulang pukul 11.30. Masa inisisai inilah kami sering mendengar “Ayo cepat!!! Teman kalian menunggu itu!!!”, “Tangga jangan dilompati!!! Kalau ketahuan dilompati balik dan ulang lagi!!!”,  itulah dari sekian teriakkan yang sering kami dengar waktu itu. Teriakan- teriakan tersebut disertai penampilan kakak kelas kami yang cowok semua dengan rambut gondrong mereka lengkap dengan penampilan sangar sempat membuatku ciut nyali.

  Selama inisiasi kami diberikan berbagai macam tugas yang sungguh sangat merepotkan, mulai dari pembuatan atribut untuk nama kami yang berbentuk perisai segi 5 yang terdiri dari beberapa warna yang ditempel satu dengan yang lain yang setiap warna memiliki ukuran masing-masing. Seprit misalnya ukuran sisi terluar dihitung dari berpa jumlah lampu diruang guru ditambah jumlah lampu diruang perpustakaan dikurangi jumlah lampu ditaman. Kemudian perisai tersebut diikat dengan karet yang nantinya supaya bisa dipakai di dada. Jumlah karet juga ditentukan juga seperti halnya ukuran perisai seperti jumlah meja diruang perpustakaan dikurangi jumlah lampu diruang piala. Seperti itu kira-kira penentuan jumlah dan ukuran yang harus kami buat. Teka teki untuk petunjuk ukuran serta barang apa saja yang harus kami bawa kami dapatkan di papan pengumuman pada hari sabtu sebelum kami memulai inisisasi pada hari senin minggu berikutnya. Setelah mencari jawaban utnuk ukuran atribut yang harus kami buat kami pergi mulai mencari bahan untuk membuat atribut dan mencari barang-barang yang harus kami bawa pada waktu inisiasi.

   Saya ingat ketika kami diminta membawa salah satu merek mie instan rebus rasa ayam bawang, namun karena sulit mencarinya ada salah seorang teman kami yang entah sengaja atau tidak dia menuliskan dengan label harga yang dia tempelkan pada bungkus mie tersebut bertuliskan “Mie Nissin rebus rasa ayam bawang” padahal mie yang dia dapatkan bukan mie rebus melainkan mie goring meskipun rasanya sama. Selain itu ada yang membawa batangan kayu secang seperti gagang centhong (sendok nasi) padahal kami diminta membawa secang serut bukan batangan kayu secang semacam itu. Pada hari terakhir yaitu hari jumat kami menginap disekolah, kmai diminta membawa perlengkapan mandi masing-masing, membawa koran dengan tanggal tertentu sebagai alas tidur. Sampai hari terakhir inisiasi tersebut dari sekitar 200-an siswa yang membuat atribut hanya 1 orang yang berhasil membuatnya dengan benar. Jadilah yang lainnya disuruh push up dengan aba-aba dari panitia. Waktu mandi pun tiba kami yang sudah dibagi dalam kelompok-kelompok kecil disebar di berbagai penjuru sekolah yang ada kamar mandinya. Karena begitu banyak orang jadi waktu mandi sangat dibatasi hanya beberapa detik saja, itu juga yang mengahruskan mandi bisa secara bersamaan 2 orang. mungkin karena itu pula banyak barang yang tertinggal dikamar mandi, mulai dari sabun, sikat gigi, sampai CD(celana dalam). Barang-barang tersebut ditunjukkan sewaktu kami berkumpul diaula setelah mandi dengan bertujuan untuk mencari tau siapa yang punya, namun mungkin karena malu tidak ada satupun yang mengaku.  Berbagai kejadian lucu dan bisa dibilang konyol banyak terjadi juga selama seminggu kami inisiasi.  Malam setelah doa malam kami tidur dibagi dalam kelompok-kelompok kami di tiaptiap kelas dengan beralaskan koran yang kami bawa. Tengah malam sewaktu kami tertidur tiba-tiba kami dibangunkan untuk mencari wali kelas kami masing-masing dan berkumpul dengan teman sekelas untuk renungan malam dan setelahnya kami tidur lagi. Pagi harinya jam 04.00 subuh kami dibangunkan dan diminta hanya mengenakan celana pendek tanpa baju bertelanjang dada(bahasa jawanya “ngligo”) lengkap dengan perisai atribut yang kami buat dan pakai selama inisiasi. Kami dikumpulkan dilapangan sekolah untuk olahraga pagi. Udara yang dingin membuat gigi kami beradu karena menggigil kedinginan. Senam pun dimulai dan sebagai penutup olah raga pagi kami diminta berbaring diatas rumput lapangan yang basah karena embun pagi lengkap sudah semakin membuat kami semain menggigil kedinginan. Setelah olahraga selesai kami diminta satu persatu maju dan memasukkan atribut perisai yang kami pakai kedalam sebuah tong yang yang sudah dinyalakan api didalamnya untuk mebakar atribut tersebut sebagai tanda kami telah lulus inisiasi. Setelah acara bakar-bakaran itu selesai kami langsung disiram air oleh pastur pamong kami dengan selang diikuti oleh para panita lambang kami dibaptis dan telah menjadi bagian dari keluarga SMA Kolese De Britto.

  Saya sempat berpikir di awal untuk apa sih kegiatan semacam ini dilakukan? Untuk ajang balas dendam para kakak kelas kepada siswa baru? Kalau untuk itu saja kenapa acara seperti ini tetap terus diadakan? Namun seiring berjalannya waktu inisiasi saya mulai mendapat jawaban untuk apa tradisi disekolah kami ini terus dipertahankan. Saya menyadari dari inisiasi tersebut karakter para siswa De Britto mulai dibentuk, dengan berbagai tugas dan jumlahnya yang cukup banyak kami dilatih untuk bisa berpikir cepat untuk bisa menyelesaikan tugas yang cukup banyak yang diberikan kepada kami, dilatih untuk bisa membuat strategi untuk bisa menyiasati bagaimana menyelsaikan tugas yang banyak namun dalam waktu yang singkat, dilatih untuk bisa bekerja sama dengan orang lain. Bahkan sampai sekarangpun hal itu tertanam terus dalam hidup saya. Saya merasa bersyukur bisa masuk di sekolah tersebut dan mengikuti inisiasi karena disanalah saya belajar berbagai hal terutama mengenai kehidupan bermasyarakat, bersosialisasi.Banyak sekali manfaat dari inisiasi yang bisa saya ambil dari sana. Mungkin kalau saya tulis semua tidak akan ada habisnya. Mungkin nanti di tulisan yang lain saya akan coba kupas beberapa diantaranya serta apa pengaruhnya terhadap hidup saya.