Saya hanya bisa bengong waktu ditanya orang
tua saya terutama ayah saya seperti ini
“Iki biji opo kok koyo ngene? (Ini nilai apa kok seperti ini?)”, sambil
menunjukkan selembar kertas HVS yang berisikan laporan nilai mid semester
pertama atau 3 bulan pertama waktu saya sekolah di De Britto. Saya mencoba
melihat isi tulisan dikertas itu tanpa mengambil kertas itu dari tangan ayah
saya. Dalam kertas itu saya lihat nilai yang tertulis mungkin bisa untuk
dipakai nyanyi karena memang nilainya do-re-mi alias nilainya jeblok semua dan
mungkin kalau ditulis dengan tinta merah itu sebagian besar merah semua angka
yang tertulis cuma sebagian kecil yang bisa ditulis pakai tinta hitam. Nilai
saya di bidang studi yang masuk dalam kategori mata pelajaran IPA
seperti fisika, kimia, dan biologi
serta matematika. Hanya biologi yang diatas 5 itupun nilainya 6, sedangkan
fisika 4, kimia 2, dan matematika 2. Loh
itu ditulis dilaporan siswa untuk orang tua siswa? Iya seperti itulah nilai
yang tertulis dilaporan nilai siswa bahkan buku raport kami di SMA Kolese De
Britto.
Kenapa di raport siswa ditulis nilai 3,4,2
bahkan 1 atau 0? Sudah sangat biasa ditempat kami. Tidak naik kelas puluhan
orang dan kalau dikumpulkan sudah cukup untuk mengisi 1 atau 2 kelas itu juga
sudah biasa disekolah kami ini. Di sekolah kami ini para guru bukannya pelit
nilai atau tidak mau membantu siswa, tapi disinilah mental kami dibentuk. Tidak
ada yang namanya nilai upah nulis dalam ulangan baik ulangan harian maupun
ulangan semester serta dalam tugas-tugas kami. Jawaban salah ya tidak dapat
nilai, jawaban betul baru dapat nilai. Tidak ada istilah nilai belas kasihan
atau nilai upah nulis, malah waktu itu teman saya nilai tugasnya -7(dikurangi
7) dari nilainya yang 5 karena telat mengumpulkan tugas selama 7 minggu dan yah
nilainya jadi -2.
Sekolah kami memang terkenal siswanya
gondrong, urakkan, sekolah yang sangat bebas, namun dibalik kebebasan itu ada
sebuah pertanggung jawaban yang harus kami emban untuk suatu bentuk kebebasan
yang kami dapatkan. Kebebasan yang kami dapatkan dari sekoah kami in bukanlah
bebas liar tanpa kendali. Namun kebebasan yang kami dapatkan mengajarkan kami
bahwa kebebasan itu adalah sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan dan bukan
suatu hal yang bisa membuat kami berbuat seenaknya tanpa batasan. Bukan yang
bisa melakukan semuanya seenaknya sendiri, kalau itu namanya liar bukan
kebebasan.
Memang kami diperbolehkan gondrong, pakaian
bebas, sekolah boleh dengan sepatu sandal, namun itu semua bukan tanpa batasan
atau bukan tanpa tanggung jawab. Tidak jarang kami mendengar komentar dari guru
kami seperti “Percuma le kowe gondrong nanging bodo! (Percuma nak kamu gondrong
tapi bodoh!)”, atau “Nek isih bodo ki ra sah gondrong sek (kalau masih bodoh
itu jangan gondrong dulu)”. Itulah salah satu contoh yang mengajarkan pada kami
bahwa kami bisa gondrong tapi jangan asal gondrong biar kelihatan sangar saja
atau biar seperti preman, namun kami diajarkan disini meskipun penampilan kita
gondrong sangar seperti preman namun pola pikir kita bukanlah seperti preman
namun kita bisa menunjukkan bahwa kita ini orang berpendidikan meskipun
bertampang preman. Seperti orang jawa bilang “Gondrong sing sembodo” yang bisa
diartikan gondrong tapi tidak asal gondrong atau Gondrong tapi “berisi”/otaknya
maksudnya.
Jujur saya sendiri pada awal sekolah di De
Britto mengalami kesulitan mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan metode
yang digunakan. Metode di sekolah kami ini berbeda dengan yang dipakai dengan
sekolah-sekolah lain. Beda? Apanya yang beda? Orang sama gitu kok, ada guru
didepan menjelaskan kepada siswa yang duduk rapi dideretan kursi lengkap dengan
meja, tiap jam pelajaran 45 menit. Ya memang yang terlihat seperti itu, namun
sebenarnya sangatlah berbeda. Bukan cuma boleh bebas seperti gondrong, pakaian
sekolah bebas, boleh pakai sepatu sandal. Namun kami diajarkan bebas untuk
berpendapat, bebas untuk menuangkan ide. Oleh karena itu sering dalam setiap
jam pelajaran terjadi diskusi dan dialog antara guru dengan siswa tentang
pelajaran terkait. Jadi dalam proses belajar mengajar setiap hari suasana
belajar mengajar terasa begitu menarik dan dengan diskusi yang sering terjadi
membantu siswa mampu untuk kritis dan bisa menganalisa suatu hal dan bisa
memandang segala sesuatu dari berbagai sudut pandang.
Satu hal yang menurut saya sangat berharga
dari De Britto adalah proses refleksi diri. Refleksi diri atau biasa orang
bilang berefleksi ini pertama kali saya alami ketika saya diminta menuliskannya
oleh seorang frater yang bertugas mengajar pelajaran religiusitas di De Britto karena
saya tidak mengerjakan tugas yang diberikan. Dari kejadian itu saya baru
mengerti apa itu sebenarnya “Refleksi diri”. Saya menganggap itu sebagai
hukuman pada awalnya, namun setelah saya melakukanya dan dwaktu saya
melakukannya saya menemukan hal lain dari sebuah “hukuman” menjadi bisa dikatakan sebuah “hadiah”. Hadiah? Iya sebuah
hadiah yang mengajarkan saya menjadi mengerti dan memahami apa itu sebenarnya “refleksi
diri” atau “berefleksi”. Saya menjadi tahu bahwa berefleksi itu tidak hanya
mengingat kesalahan atau kejadian yang telah kita lakukan atau telah terjadi,
namun dengan kita mengingat kesalhan atau kejadian yang telah lalu kita bisa
mengambil pelajaran dari masa lalu kita.
0 comments:
Post a Comment