Pages

Wednesday 5 September 2012

Jawa dan Cina Di De Britto, Rasis?

   
 "Wooo cen dasar jawa kowe ki, patute dadi batur! (Wooo emang dasar jawa kamu, pantesnya jadi babu!)".
    "Wooo cino kemlethek, ajar sisan kowe. Kono jogo toko, cino bodo cencang toko! (Wooo cina sok, kuhajar juga nanti. Sana jaga toko, cina bodoh diikat di toko!)."


Itu teriakkan yang terjadi antara 2 orang remaja lelaki yang pertama seorang remaja lelaki Tionghoa dan satunya lagi seorang remaja lelaki Jawa. Teriakkan atau kalimat seperti itu yang sering terdengar dalam lingkungan sekolah kami di SMA Kolese De Britto. Wah sekolah apaan itu kok rasisnya kelewat batas gitu?! Yah mungkin seperti itu kira-kira tanggapan orang kalau mendengar teriakkan dengan kalimat seperti diatas. Namun, bagi kami itu bukanlah wujud rasis. Bukan rasis gimana wong kayak gitu? Iya bukan rasis, bagi kami ini adalah sebuah wujud keakraban sesama kami. Baik itu chinese, jawa, sunda, batak, dayak, papua. Memang terkesan kasar, tapi rasis buat kami tidak berlaku, kami semua sama satu keluarga, keluarga SMA Kolese De Britto.

Ini salah satu hal yang saya dapati di De Britto yang sangat berbeda dengan lingkungan di luar. Di lingkungan kita sehari-hari terkadang kita jumpai adanya sebuah kenyataan yang bisa dibilang ekslusivitas antara orang pribumi dan orang Tionghoa. Banyak warga pribumi yang terkesan enggan bergaul dengan warga Tionghoa dan begitu juga sebaliknya. Hal ini dalam masyarakat kita seperti sudah mengakar dan bahkan bagi pribumi sudah tertanam dalam pikiran mereka "Anti Tionghoa". Kejadian pada kerusuhan tahun 1998 hal itu begitu terlihat jelas dimana banyak warga Tionghoa yang menjadi korban dan sasaran adalah warga Tionghoa. Orang-orang beranggapan bahwa warga Tionghoa lah penyebab krisis waktu itu atau mungkin itulah puncak dari "Anti Tionghoa" yang sudah terlanjur mengakar dan berubah menjadi kebencian masyarakat pribumi pada warga Tionghoa. Kenapa dalam masyarakat pribumi kita bisa tertanam pola pikir seperti itu? Malah dalam kasus kerusuhan saat itu hal itu menjadi terlihat sangat wajar, dan tindakan rasis "Anti Tionghoa" tersebut menjadi mendapat tempat yang biasa. Dari kejadian itupun perhatian yang muncul malah kebanyakan dari luar negeri seperti lembaga-lembaga HAM PBB dan juga lembaga-lembaga HAM internasional lainnya.
Kembali ke awal tentang 2 kalimat pertama yang saya tuliskan diatas. Bagaimana itu kalian bilang bukan rasis dan sebagai wujud keakraban? Semua kembali pada konteks dan cara pikir kita masing-masing (wedeh agak susah bahasanya, hehehe). Iya bagi kami kalimat atau kata-kata semacam itu bukanlah sebuah serangan atau wujud cemoohan satu dengan yang lain. Bukan cuma kalimat seperti diatas yang sering terlontar diantara kami sebagai wujud keakraban dan kedekatan satu sama lain, namun juga kata-kata makian yang sering orang lain gunakan untuk merendahkan orang lain malah kami gunakan untuk memuji keberhasilan orang lain. Kata makian untuk memuji orang lain? Gimana bisa? Yang benar sajalah seperti itu? Memang benar, kami memang seperti itu. Kami siswa De Britto diajarkan untuk memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang, tidak cuma di De Britto namun di sekolah Kolese lain pun sama seperti halnya di Kolese Loyola Semarang, Gonzaga Jakarta, Kanisius Jakarta, seminari Mertoyudan Muntilan, dan Kolese-kolese lain di Indonesia. Hal itu merupakan wujud dari pendidikan bebas kami yang sudah saya tuliskan di tulisan saya sebelumnya.

Kata makian atau cemoohan yang mungkin menurut orang lain merendahkan tapi bagi kami itu sebagai wujud keakraban dan wujud pujian satu sama lain, bukan sebagai suatu hal yang membatasi atau wujud kebencian. Malah dari hal itu kami menjadi lebih dekat satu dengan yang lain, menjadikan kami lebih akrab, menjadikan kami bisa lebih menghargai satu dengan yang lain sebagai suatu pribadi yang unik dari diri kami masing-masing. Menjadikan perbedaan diantara kami menjadi sebuah ragam yang saling melengkapi dan saling memberikan warna. hal itu pula yang membuat ikatan diantara kami bisa menjadi kuat dan muncul rasa rindu satu sama lain untuk berkumpul karena kami merasa sebagai sebuah keluarga tanpa memandang ras, suku, bangsa atau asal kami darimana.

0 comments: